Saha jenengana neng....
Sopo jenengmu jeng...
What is your name...
O namae wa...

Membaca tulisan di harian Pikiran Rakyat yang berjudul Nama, aku jadi merenung tentang diri sendiri Nama adalah identitas. Tidak hanya manusia, semua objek yang ada di alam semesta ini semestinya memang punya nama, agar masing-masing benda tersebut dapat dikenali satu sama lainnya.
Nama orang mencerminkan pribadi sang empunya. Dari namanya kita bisa menebak latar belakang seseorang itu dari suku bangsa apa, apakah dia ngota atawa wong ndeso; ’berdarah biru’ atau ’berdarah merah’; wong bule atawa lokal; bahkan juga agamanya.
Ada sederet motivasi ketika orangtua memberi nama pada anaknya. Ketika nama itu diberikan bahkan patut disertai dengan berbagai ritual pemberian nama, seperti adat ngabubur beureum ngabubur bodas dalam adat budaya sunda. Semua dilakukan karena sebuah keyakinan, nama adalah doa.

Soal Namaku
So, whats the meaning of my name??
Begini ceritanya.
Aku lahir pada hari jumat jam 12:00, dan lalu dinamai Aah Desi. Urang sunda menyebut hari jumat 'jumaah' nah dikarenakan aku lahir di hari jumaah itu, jadi we dinamain Aah, yang diambil dari kata jumaah tea. Ai ngaran Desi diambil dari kecap Da dari susunan huruf jawa hanacaraka datasawapadadjayanya...., yang menurut keterangan hasil wawancara tehadap sang pemberi nama, yaitu kakekku, bahwa ada satu kebiasaan masyarakat sunda (yang sebetulnya sih kebiasan urang sunda, dikampung aku lahir) yang memberikan abjad aksara sunda pada nama seseorang berdasrakan hari kelahirannya. Nama berdasarkan weton atawa wedal maksudnyamah.
Tah, kulantaran diriku lahirna poe jumaah jadi kakeunaan ku huruf da tea. Jadi, kalo mau diartikan nama aku teh artinya jumaah-jumaah(???). Dobel friday. Rada lieur oge da kalo diartiin langsung ga kesampean apa maksudnye.
Tapi gapapa, soalna menurut ajaran Islam, Jum'at adalah hari terbaik dan teragung, jadi sugan we, dan mudah-mudahan harus, aku jadi orang yang terbaik-terbaik, the best pokonamah....amin....

Aku baru benar-benar tahu nama lengkapku ketika masuk SD. Ketika perkenalan siswa, wali kelas memanggil siswa satu persatu. Ketika giliran sebuah nama disebut, tak seorang siswapun angkat tangan. Hingga akhirnya mamahku (yang memang saat itu ikut mendampingi, karena hari pertama masuk SD para bunda itu masih kudu nganter ke sekolah) menyuruh aku angkat tangan.
Aku dengan sedikit heran campur bingung tapi juga tak bisa protes lalu angkat tangan. Aku merasa betapa asingnya namaku. Pulang sekolah, aku tanya mamahku. Kok namaku jadi aneh gitu. Mamahku menjelaskan memang itulah nama lengkapku. Bahkan untuk lebih meyakinkan aku, mamah menunjukkan surat akta kelahiranku. Mamah juga menjelaskan sejarah, kenapa aku diberi nama itu. Seumur hidup dari lahir hingga saat pengabsenan di kelas itu, aku belum pernah dipanggil dengan nama depanku. Semenjak kecil dirumah dan seluruh keluarga besarku selalu memanggil aku dengan nama belakangku, Desi atau lebih lengkapnya Nyi Desi!!!

Nyai??

Sound more ndeso dan all that ndeso words! Kenapa kok serba kampungan semua??
Itu karena aku lahir, dan diberi nama oleh orang desa, kakekku ato yang selalu kusapa aki. Ketika masih balita, aku diasuh oleh aki dan ene, tinggal disebuah perkampungan di daerah Rajapolah, Tasikmalaya. Ketika dalam pengasuhan mereka itulah aku selau dipanggil Nyai.
Memang maksudnya sih itu hanya panggilan kepada anak perempuan pada umumnya. Soalnya di lembur ene, setiap perempuan yang lebih muda selalu disapa dulu dengan sebutan Nyai.
Entah mengapa sebutan itu malah melekat menjadi identitas asliku, menjadi nama kecilku. Sampai sekarang, yang bahkan semenjak masuk SD itu aku tinggal di Bandung, semua orang tetap memanggilku Nyai. Aku bahkan pernah berpikir, apa jangan-jangan semua orang itu malah tidak hafal nama lengkapku yang sebenarnya.
Tapi untungnya aku bukan tipe anak yang terlalu mempermasalahkan soal nama ’asing’ dan nama panggilanku itu. Aku tidak pernah protes pada orangtuaku, meminta mereka untuk mengganti namaku. Meskipun semenjak kecil banyak orang yang sering meledek panggilanku yang sound so ndeso itu, aku tidak pernah ambil peduli.
Bahkan kebanyakan dari para pengejek itu malah jadi takut padaku. Ya karena dari kecil aku memang beken sebagai anak tukang duel, yang disegani terutama oleh anak-anak perempuan sok usil yang ga pernah mau kalah saingan rebutan anak lelaki paling mencrang saat itu!
Yang sangat aku pedulikan adalah kesulitan melafalkan nama depanku. Bahkan bagi diriku sendiri sang pemilik nama, kadang cukup sulit untuk menyebutkan nama depanku.

Well, tapi itu tak selalu bergitu. Soalnya aku keburu menemukan nama baru untuk yang bakal jadi identitas diriku sebenarnya.
Jaman SMP (kelasnya aku lupa) aku disuruh membubuhi paraf pada daftar absen. Yang namanya paraf, yaitu tanda tangan mini, tentu saja musti lebih singkat dari TTD asli. Aku paraf dengan menyingkat nama depanku, sehingga kalo dibaca akan menjadi Adesi. Suatu ketika ada satu paraf-an yang dimana hurup i yang paling belakang tidak tampak dengan jelas, sehingga jadi terbaca Ades.
Saat itulah aku menyadari sesuatu, sepertinya itu cocok banget jadi nickname-ku. Singkat dan mudah diingat. So, semenjak itulah aku mengenakan ’merk’ baru pada diriku, Ades. Walaupun memang sama persis dengan salah satu merek air mineral yang lumayan beken di tanah air ini, tapi aku malah makin bangga dengan itu.
Maka Ades menjadi identitasku seterusnya. Meskipun ini hanya berlaku dilaingkungan luar rumahku. Sementara dirumah dan oleh keluarga besarku, aku masih tetap dipanggil dengan sebutan nama kecilku.

Tapi ternyata bukan hanya kau seorang yang ingin mengkalim Merk itu sebagai identitas diri. Karena di kemudian hari, dalam waktu yang berbeda, aku menemukan dua orang teman lelaki, keduanya bernama lengkap Ade setiawan, dan keduanya ingin dipanggil Ades.
Ade Setiawan1 aku temukan waktu SMA. Kami sama-sama ngotot ingin menggunakan trademark Ades. Lalu seorang teman memberi solusi. Karena temanku si Ades lelaki itu berbadan kecil, maka ia kemudian dipanggil Ade Kecil, dan disingkat Acil. Masalah selesai. Temanku punya nickname baru, dan aku bertahan dengan trademark-ku.
Ade Setiawan2 kutemukan waktu jaman kuliah, anak laki angkatan lebih muda dariku. Dia dipanggil Ades juga oleh teman-teman seangkatannya. Ketika kedua Ades ini, aku dan dia, berkumpul bersama, lalu tiba-tiba ada orang memanggil Ades, maka kami berdua biasanya akan sama-sama menoleh. Jika sudah begini tentu akan jadi hiburan tersendiri bagi kami, karena kami akan saling nyela satu sama lain.
Pakeukeukeuh keukeuh pengen tetep Ades. Kami berdua tetep keukeuh tidak mau mengganti nickname kami. Hingga akhirnya suatu saat ada dosen yang menyuruh seorang mahasisiwa memanggil Ades. Anak itu, tanpa bertanya dulu Ades mana yang dimaksud, langsung memanggil aku disuruh menghadap bapa dosen anu di kantor. Aku bingung, ngapain aku dinggil dosen itu. Ketika aku datang, pa dosen pun malah bingung kenapa aku yang datang. Saat itu aku baru ngeh, mungkin Ades yang dipanggil bukan Ades aku, tetapi temanku si Ades laki.
Dan rupanya kejadian seperti ini lumayan sering terjadi di kampus. Karena tidak ingin terus-terusan salah panggil, aku lalu menambahkan kata Neng didepan kata Ades, ya supaya perbedaan antar kedua Ades ini jadi jelas nyata bedanya. Maka setelah kejadian ini, Neng Ades menjadi identitas baru, yang kutemukan di kampus, dan masih sering aku gunakan untuk memperkenalkan dri disaat ini.

So... what would you like to call me?

Whats the meaning of name?

by on January 25, 2007
Saha jenengana neng.... Sopo jenengmu jeng... What is your name... O namae wa... Membaca tulisan di harian Pikiran Rakyat yang berjudul...